Masyarakat Jawa Timur memiliki banyak tradisi yang masih hidup (the living traditions) dan dimanfaatkan serta dibanggakan oleh para pendukungnya. Tradisi-tradisi tersebut, antara lain, berupa berbagai bentuk kesenian yang memiliki banyak pewaris, baik pewaris aktif (active bearers) atau pelaku seni maupun pewaris pasif (passive bearers) atau penikmat seni. Bentuk kesenian yang masih hidup tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yakni kesenian agraris, antara lain, tayub, sandur, seblang, gandrung, dan reog, serta kesenian nonagraris seperti ludruk, wayang orang, kentrung, topeng, ketoprak, jinggoan, janger, dan lain-lainnya.
Salah satu bentuk kesenian agraris yang sampai sekarang masih hidup dan memiliki pewaris aktif dan pasif yang cukup banyak di Jawa Timur, bukan hanya di wilayah kebudayaan Jawa Ponoragan, adalah reog Ponorogo. Sedangkan untuk kesenian nonagrarisnya adalah sebuah teater rakyat yang disebut ludruk. Kedua bentuk seni pertunjukan ini memiliki pewaris aktif dan juga pewaris pasif yang tersebar di berbagai tempat. Namun demikian, sejalan dengan bertumbuhnya produk-produk kebudayaan global, terutama pop arts, posisi kedua bentuk kesenian tersebut makin lama makin terjepit. Reog Ponorogo, misalnya, di samping merupakan bentuk kesenian yang unik juga bentuk kesenian yang terkait dengan ilmu kanuragan atau kekuatan fisik. Mereka yang tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat tidak akan mampu menyangga barongan dan dhadhak merak yang cukup berat. Ludruk bisa bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat, berupa legenda, dongeng, kisah sejarah dan kehidupan sehari-hari yang menggunakan bahasa yang sangat komunikatif, disertai lawakan yang sangat menghibur.
II. Pembahasan
Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Panjang bentangan barat-timur sekitar
400 km. Lebar bentangan utara-selatan di bagian barat sekitar 200 km,
namun di bagian timur lebih sempit hingga sekitar 60 km. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan
daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 km sebelah
utara Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang paling
timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di
bagian selatan terdapat dua pulau kecil yakni Nusa Barung danPulau Sempu.
Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih
heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Maduramendiami di Pulau Madura dan
daerah Tapal Kuda (Jawa
Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah
kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh
kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di
sektor informal.
Suku Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan
Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Suku Osing tinggal
di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samintinggal
di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro.
Selain
penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang.
Orang Tionghoa adalah
minoritas yang cukup signifikan dan mayoritas di beberapa tempat, diikuti
dengan Arab; mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali juga
tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat
tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan industri
lainnya.
Kesenian
Jawa
Timur memiliki sejumlah kesenian khas. Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni
panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Berbeda dengan
ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk menceritakan kehidupan
sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui dengan humor dan kritik sosial,
dan umumnya dibuka dengan Tari Remo dan parikan.
Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya,
Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan
modernisasi.
Reog yang sempat diklaim sebagai tarian
dari Malaysia merupakan kesenian khas Ponorogo yang telah dipatenkan sejak tahun 2001, reog kini juga menjadi icon kesenian Jawa Timur. Pementasanreog disertai dengan jaran kepang (kuda lumping) yang disertai unsur-unsur gaib. Seni terkenal
Jawa Timur lainnya antara lain wayang kulit purwa gaya Jawa Timuran, topeng
dalang di Madura, dan besutan.
Di daerah Mataraman, kesenian Jawa Tengahan seperti ketoprak dan wayang kulit cukup
populer. Legenda terkenal dari Jawa Timur antara lain Damarwulan, Angling Darma, dan Sarip Tambak-Oso.
Seni
tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan dalam gaya Jawa
Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa gaya Osing, dan trian gaya Madura.
Seni tari klasik antara lain tari gambyong, tari srimpi, tari bondan, dan
kelana.
Terdapat
pula kebudayaan semacam barong sai di Jawa Timur. Kesenian itu ada di dua
kabupaten yaitu, Bondowoso dan Jember. Singo Wulung adalah kebudayaan khas
Bondowoso. Sedangkan Jember memiliki macan kadhuk. Kedua kesenian itu sudah
jarang ditemui.
Budaya dan Seni
Kebudayaan
dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh
dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa
kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut
meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan),
eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian
Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup
populer di kawasan ini.
Kawasan
pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini
mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur
merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari
sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.
Di
kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang)
dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman,
mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan
Yogyakarta.
Adat
istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat
besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing
merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku
Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Masyarakat
desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang
berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang
diselenggarakan antara lain: tingkepan(upacara
usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima
hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh
bulan), sunatan, pacangan.
Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir barat: Tuban, Lamongan, Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita melamar pria, berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia, dimana pihak pria melamar wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan masuk ke dalam keluarga wanita.
Untuk
mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
Arsitektur
Bentuk
bangunan Jawa Timur bagian barat (seperti di Ngawi, Madiun, Magetan, dan
Ponorogo) umumnya mirip dengan bentuk bangunan Jawa Tengahan (Surakarta).
Bangunan khas Jawa Timur umumnya memiliki bentuk joglo,
bentuk limasan (dara gepak), bentuk srontongan (empyak setangkep).
Masa
kolonialisme Hindia-Belanda juga meninggalkan sejumlah bangunan kuno. Kota-kota
di Jawa Timur banyak terdapat bangunan yang didirikan pada era kolonial,
terutama di Surabaya dan Malang.
III. Penutup
Secara budaya, hidup mati sebuah seni pertunjukan tidak pernah tergantung kepada pemerintah atau kepada institusi terkait yang mendapat amanah untuk menanganinya. Baik pemerintah maupun institusi terkait hanya berperan sebagai pemicu awal dan bukan kekuatan besar yang menjamin kelangsungan hidup sebuah produk kebudayaan. Yang bisa menjamin kelestarian sebuah produk kebudayaan dalam era kapitalisme global ini adalah para pewaris aktif dan pasar (baca: pewaris pasif). Apabila para pewaris aktifnya masih mempertahankan dan memeliharanya dengan baik, maka sebuah produk kesenian akan tetap hidup. Begitu juga, apabila pasar (penikmat, pewaris pasif) masih membutuhkan dan mengapresiasinya, maka ia akan bertahan sebagai komoditas yang memiliki arti ekonomis sehingga para pewaris aktifnya dapat memperoleh rezeki darinya. Tetapi apabila pasar tidak membutuhkannya, maka ia hanya akan bertahan sebagai klangenan bagi para pewaris aktifnya saja, yakni menjadi sesuatu yang dicintai dan diapresiasi secara pribadi, tetapi nilai ekonomisnya sangat rendah. Hal ini juga berlaku bagi seni reog dan seni ludruk.
Ada tiga hal yang dapat mempertahankan kehidupan suatu bentuk seni pertunjukan. Pertama, memiliki pewaris aktif yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan seni pertunjukan yang digelutinya. Reog dan ludruk mempunyai pewaris aktif yang cukup setia, dan itulah yang membuat keduanya dapat bertahan. Kedua, memiliki pewaris pasif yang cukup setia untuk datang dan membeli pementasan karena pewaris pasif adalah pasar yang dapat mendukung keberadaan sebuah seni pertunjukan. Sejatinya, seni reog yang bercitra agraris dan seni ludruk yang bercitra nonagraris masih memiliki penikmat yang fanatik. Ketiga, ada campur tangan negara. Di Provinsi Jawa Timur, seni reog dan ludruk menjadi kebanggaan para pewarisnya karena keduanya menjadi penyangga identitas lokal pemiliknya.